Mengapa Berkiblat ke Barat?
Islam adalah agama sempurna dan paripurna. Sebuah ajaran yang rasional, memadukan pikiran dan tindakan. Dalam sejarahnya, dien yang dibawa Muhammad SAW ini mencintai akal tapi tidak melupakan wahyu. Tidak heran, banyak ilmuwan muslim mencerahkan umat dengan berbagai karya dan penemuan yang bermanfaat.
Kelahiran banyak ilmuwan Islam tentu tidak terlepaskan dari pengaruh Al-Qur’an. Sebuah kitab suci yang menyimpan berjuta inspirasi tak habis untuk direguk. Uniknya, misteri keindahan Al – Qur’an dalam mengungkap ilmu pengetahuan banyak dipecahkan sarjana Barat. Penemuan gunung bergerak misalnya terjadi pada abad ke-20. Tapi jauh sebelum itu, Allah sudah berfirman :“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.” [QS 27:88]
Pencapaian intelektual Neil Amstrong sebagai penemu bulan juga sudah diprediksi Al- Qur’an. Allah berfirman : “Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS 55 :32). Menjadi pertanyaan fundamental mengapa bukan umat Islam yang menemukan bulan? Biarlah diri kita masing – masing yang menjawabnya.
Pertanyaan itu mewakili fenomena yang terjadi sekarang dimana banyak muslim yang bangga pada penemuan Barat. Mereka menggilai Barat sebagai ladang subur ilmu pengetahuan sehingga senang “berguru” ke universitas dan lembaga pendidikan Eropa. Padahal banyak kampus di Barat meninggikan akal dan melupakan Tuhannya. Allah sudah merekam gejala “migrasi” pengetahuan dalam firman-Nya :
“Alif, Lam, Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).” (Al Qur’an, 30:1-4)
Persia dikenal sebagai bangsa penyembah Api, Romawi beragama Nasrani. Kemenangan Persia atas Romawi sangat mengancam kaum muslimin. Tapi Allah sudah menjanjikan kemenangan kembali Romawi (sekarang dikenal sebagai bangsa Barat/Eropa). Romawi pernah mengalami masa kegelapan ketika Islam mencapai puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Kondisi mulai berubah ketika Islam menganut sistem pemerintahan daulah yang berdasarkan keturunan. Keadaan makin parah ketika khilafah Islamiyah dihancurkan Kemal Attaturk. Sejak itu, kejayaan ilmu pengetahuan berpindah ke Barat.
Menariknya, banyak ilmuwan Barat justru mengaku berhutang kepada Islam. William Montgomerry Watt misalnya pernah mengatakan Barat berhutang budi kepada Islam khususnya dalam ilmu pengetahuan. Peneliti sejarah perkembangan pengetahuan di dunia Islam ini menyebut perkembangan ilmu pengetahuan yang kini berkembang pesat di Barat dan Eropa, sesungguhnya sebagian besar telah banyak ditemukan kaum Muslim sebelumnya.
Pendapat itu tidak mengherankan, sebab sebenarnya banyak ilmuwan Muslim yang memberikan pengaruh terhadap peradaban Modern. Tapi nama mereka banyak yang redup dan diredupkan agar umat Islam berkiblat ke Barat. Gejala ini bertujuan meninggalkan stigma negatif Islam sebagai agama terbelakang. Untuk itu, ada baiknya kita perlu menelusuri kembali sejarah emas kebangkitan ilmuwan Islam.
Generasi Emas Ilmuwan Muslim
Jika banyak membaca sejarah, penyakit “amnesia” akan kegemilangan Islam tentu dapat disembuhkan. Sejarah mengisahkan dari abad ke-8 hingga ke-10, Baghdad berkembang sebagai kota paling beradab dunia. Universitasnya diisi oleh 6.000 mahasiswa dari seluruh dunia, dan ia menarik sumbangan yang nilainya setara dengan jutaan dolar.
Jalanan Baghdad dilapis rata, lengkap dengan saluran pembuangan yang tertutup, dan bermandikan cahaya. (Mohamed Elmasry : 2007)
Dalam berbagai literatur, dapat ditemukan banyak ilmuwan Islam berpengaruh sehingga pemikiran dan karya mereka dinikmati dunia. Sebagian penemuan mereka berhasil “menghidupkan” dunia ketika dilanda arus deras kegelapan. Catatan paling fenomenal terjadi di zaman dinasti Abbasiyah. Dalam bidang ilmu hadits dan Fiqih, daulah Abbasiyah melahirkan banyak tokoh terkenal yang memiliki banyak pengikut sampai sekarang.
Empat imam mazhab yang terkenal mencerdaskan umat pernah hidup di zaman Abbasiyah yaitu Imam Ibnu Hanifah (700 – 767 M), Imam Malik (713-795), Imam Syafi’I (767-820 M) dan Imam Ahmad Bin Hambal (780 -855 M). Mereka berjasa membantu umat Islam ketika bertanya seputar masalah keagaamaan baik fiqih, tauhid dan lainnya. Tidak ketinggalan menyebut para perawi hadits seperti Iman Bukhari (810-810 M), Ibnu Majah (824 – 887 M) dan At Tirmidzi (825 – 892 M).
Selain persoalan agama, ilmuwan Islam menyentuh ranah praktis keduniawian. Penguasaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan mencapai puncak keemasan. Banyak tokoh sains dilahirkan dan pemikirannya berhasil mempengaruhi kehidupan banyak orang. Sebut saja AL Khawarizmi yang berhasil menemukan ilmu matematika dan astronomi. Dirinya dikenal sebagai penemu rumusan aljabar dan menemukan angka nol.
Dunia juga berdecak kagum melihat Al Fazari, seorang astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe. Ada pula Al – Farghani (Al-Faragnus), penulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispanlesis. (Agus Mustofa : 2010)
Dalam ilmu kedokteran, Islam melahirkan ilmuwan secerdas Ibnu Sina, Ar Razi dan Ibn Rusyd. Ar Razi menemukan penyakit cacar dan penyusun buku kedokteran pertama kali. Sedangkan Ibnu Sina dikenal dunia karena menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Buku beliau berjudul “Al-Qoonuun Fi Al-thibb menjadi salah satu rujukan kedokteran sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.
Tidak kalah dashyat, ilmuwan Islam berhasil menterjemahkan banyak karya sastra dan filsafat Yunani dan Persia. Pemikiran Aristoteles diterjemahkan dan diinterpretasikan secara kritis oleh pemikir muslim. Akhirnya berkembang filsafat Islam di tangan tokoh terkenal seperti Al Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Ibnu Sina mengarang buku asy-Syifa. Al Farabi menulis buku filsafat, logika dan etika terhadap garis pemikiran filsuf Yunani Aristoteles. Ibnu Rusyd dikenal sebagai fisikawan, filosof, hakim dan dokter. Di barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Avveroes sehingga berkembang aliran Averroisme.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan di dunia Islam membuat banyak manusia takjub. Penulis Amerika kelahiran Belgia May Sarton pernah mengatakan "Penciptaan sebuah peradaban internasional baru dan kebesarannya bersifat ensiklopedik, dalam waktu kurang dari dua abad, adalah suatu hal yang dapat kita gambarkan, tetapi tidak dapat dijelaskan dengan pasti ... Hal tersebut merupakan gerakan paling kreatif pada Abad Pertengahan hingga abad ke-13."
Berharap Dari Indonesia
Rasulullah pernah menegaskan "tinta seorang sarjana lebih suci daripada darah seorang syuhada." Hadits itu mengajarkan agar umat Islam melepaskan diri dari kebodohan dan bangkit menampilkan sejarah emasnya kembali. Al-Qur’an sebagai sumber rujukan harus kembali dilakukan penggalian makna sehingga spektrum pengetahuan berkembang luas. Apalagi khususnya di Indonesia, ilmuwan Islam pernah menelurkan sejarah emas.
Mengutip Yon Mahmudi, Indonesia pernah melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dikomandani Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama. Kalangan neo santri ini pernah membius Indonesia karena menjadi ajang berkumpul intelektual dan cendekiawan Indonesia. Mereka bersatu untuk memfasilitasi ilmuwan muslim agar tidak bergerak parsial membangun kejayaan Islam di Indonesia.
Kita menunggu kerja besar ICMI melahirkan ilmuwan muslim terbaik untuk Indonesia tercinta. Tapi mengamanatkan tugas besar itu sendirian kepada ICMI bukan sebuah sikap bijak. Untuk itu menjadi pekerjaan besar muslim Indonesia melahirkan kembali prestasi emas keilmuan Islam. Kita harus mulai meningkatkan kompetensi sehingga menjadi “ahli” yang dibanggakan umat, bangsa dan negara.
Sumber :
http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/inggar-saputra-pengurus-kammi-pusat-mencari-ilmuwan-muslim.htm