Selasa, 05 Juli 2011

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Izinkan saya mengomentarinya. Mengomentari sebuah novel pinjaman dari seorang sahabat, hihi. *saya suka novel, tapi belum pernah berniat untuk mengoleksinya* Terima kasih karena tak pernah bosan meminjamiku, sayang. :D

Novel karangan Tere Liye *penulis favoritku* sungguh menggugah! Mantap! Keren sekali! :) Awalnya sempat bertanya-tanya, “Kok ketika membacanya tidak seperti membaca novel karangan Tere Liye yang lain yah? Seperti bukan Tere Liye!” (dalam hati, saya berbisik, “Coba bukan karangan Tere Liye, saya pasti sudah meletakkan buku ini dari tadi, tak menarik!” Ckck.) Itu tanggapan pertama kali saya membacanya. Namun semakin saya mendalaminya, membacanya lebih jauh, saya sadar tidak sepenuhnya tanggapanku itu benar, yah, tanggapan itu mulai berguguran, perlahan tapi pasti.  :D Ini memang novel karangan Tere Liye, Tere Liye banget! Huaa. Tidak rugi saya membacanya. Ada banyak pelajaran hidup yang berarti. Membuatku tak ingin beranjak dari posisi bacaku. *posisi baca yang slalu kubuat menyenangkan* :D

Saya tak ingin menceritakan tokoh, alur, maupun konflik dalam novel Tere Liye ini, sama sekali tidak. Saya hanya ingin berbagi beberapa kutipan yang saya sukai. :)

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari
kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang baik.

Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang,
 perhatian, dan teladan tanpa mengharapkan budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas.
Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.

Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku
lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah… Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.

Saya bingung mau berkomentar apa. *tulalit, tulalit* hahaa. Bagi-bagi kutipan aja deh. -_-"

“Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu… bahwa hidup harus menerima…
penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.”

“Kami kecil sekali saat Ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya masa depan.
Takut bercermin pada masa lalu yang getir. Ibu benar… tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya.
Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami… dan kami akan menerima.”

Hidup ini akan terus berlanjut, walau perih. Kita terjatuh dan terpuruk bukan hanya sekali. Percayalah, ini semata-mata untuk menguatkan kita, untuk menempah kita agar bisa menatap hidup dengan dewasa. Jika terjatuh, bangunlah! Bangkitlah kembali! Ada banyak pelajaran di saat kau terpuruk, bahkan ke dalam kubangan lumpur terdalam sekalipun!

Kenapa kita tidak mengubah penderitaan itu sebagai energi menuju kebahagiaan? Yaah! Buatlah semuanya menjadi energi positif. Energi yang berguna untuk setiap detik di hidup kita. :D

“Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaan
sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.“

Benarkah? Adakah yang mau menanggapi kutipan di atas? *bantu saya* hihihi. Ah, sungguh pengharapan itu hanya membuat kita terbuai dalam khayalan. Cukup kepada Allah kita menumpahkan segala pengharapan, yah, hanya kepada-Nya. Jangan pernah membuat suatu pengharapan kepada makhluk-Nya. Tak pantas. Memendam rasa? Kata artikel yang pernah kubaca, ‘Cintailah Ia dalam diammu, dan jika memang ‘cinta dalam diammu’ itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam. Jika dia memang bukan untukmu, toh Allah, melalui waktu akan menghapus cinta dalam diammu itu dengan member rasa yang lebih indah dan dengan orang yang tepat.” *Tentu ini hanya untuk orang yang belum siap melangkah ke dalam walimahan yang sacral* hehehe. :)

Hmm. Sampai di sini dulu yahh! Sudah capek niy, mana tulisan di atas berantakan puula. Ckck. Biarlah. Yang penting semuanya sudah tercurah. Bye, bye! :D
“Ada banyak kehidupan dan kesibukan di dunia ini, dan kita tidak akan pernah tahu banyak hal jika kita tidak membuka mata dan hati kita untuk hal-hal kecil sedikitpun.”

4 komentar:

  1. Ah, bagus yah? Mauu bacaaaa. Novelnya siapa, Ciu?

    BalasHapus
  2. Iyah, novelnya keren.. Punya Nurul Hikmah.. Sini gih, nanti saya kenalin.. hihi..

    BalasHapus
  3. suka jugaaaaaa >.<
    wah, sama2 penggemar tere liye nih kita ciu :D :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...